PELANGIQQ|| Rizieq Shihab untuk kesekian kalinya urung kembali ke Indonesia. Tetapi drama menyambut kepulangannya, menangguk sukses besar.
Drama itu, yang telah berlangsung beberapa hari sebelumnya, mendapat sorotan luas media massa.
Banyak pendukungnya menghadiri acara subuh berjamaah dalam rangka penyambutan Rizieq di Masjid Jami Baitul Amal, Cengkareng, Jakarta Barat. Polisi pun dibuat sedikit kalang kabut. Aparat dengan jumlah yang tidak sedikit dipersiapkan di sejumlah titik terutama di Bandara Soekarno Hatta.
Gembar-gembor kepulangan Rizieq berakhir antiklimaks. Namun pendukungnya tak sedikit pun merasa kecewa. Mereka hanya harus menunda lagi kerinduannya bertemu Rizieq.
Di bagian lain, sebagian orang yang tak menyukai Rizieq ikut merasa lega, tentu dengan alasan yang berbeda dengan para pendukung Rizieq.
"(Ada dia) Cuma bikin masalah. Demo lagi, razia lagi, hoax lagi," kata teman saya pendukung Jokowi yang tidak menyukai Rizieq, yang belakangan gemar membaca dan menyebarkan status 'selebriti medsos' macam Denny Siregar.
Rizieq memang sosok kontroversial. Sulit bagi orang untuk bersikap netral ketika berhadapan dengan dirinya. Biasanya, hanya ada dua pilihan: membenci atau mendukung Rizieq.
Rizieq punya ciri khas tersendiri.
Suaranya yang lantang saat berorasi, sikap tegasnya, dan kritik-kritiknya--seburuk apapun kualitas kritiknya terhadap pemerintah, seolah oase bagi sebagian masyarakat yang memang sejak lama merasa tak puas dengan Jokowi.
Rizieq, dengan kata lain, telah menjadi kanal bagi sebagian masyarakat untuk menyalurkan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah, di tengah mandulnya manuver politik dari partai-partai oposisi.
Dengan segala atribut dan peran di atas, Rizieq tak ayal lagi telah menjelma jadi salah satu tokoh oposisi nonpartai yang diperhitungkan.
Berbagai cara dan celah untuk 'membungkam' Rizieq. Mulai dari kasus ujaran kebencian, penghinaan terhadap lambang negara, hingga dugaan percakapan mesum dengan Firza Husein.
Pemerintah, dalam hal ini kepolisian, memang berhasil membungkam Rizieq. Setidaknya sukses memaksa sang imam hengkang ke Arab Saudi. Sayangnya, keberhasilan itu bersifat sementara, rawan dipolitisir, bahkan bisa berujung 'petaka politik' bagi keberlanjutan pemerintahan Jokowi di Pemilu Presiden 2019.
Simbol Pemersatu
Pemerintah tampaknya abai bahwa secara politis, Rizieq telah menjadi simbol pemersatu kelompok oposisi, baik di kalangan elite maupun akar rumput.
Di level elite Rizieq berhasil menguatkan ikatan kelompok alumni 212 dengan partai-partai oposisi. Sementara di akar rumput, rakyat yang tidak puas dengan Jokowi terus menunggu kepulangannya agar dapat memiliki kembali tokoh oposisi yang garang.
Dalam situasi demikian, tak heran jika isu kepulangan Rizieq yang sudah bergulir kesekian kalinya, kerap mendapat sorotan luas.
Isu kepulangan Rizieq pelan tapi pasti, telah menjadi komoditas politik. Salah satunya adalah untuk merapatkan lagi barisan oposisi di tingkat elite dan akar rumput. Dengan demikian, isu ini bisa digulirkan kapanpun sesuai dengan situasi politik yang sedang terjadi.
Namun, kepulangan Rizieq dalam waktu dekat hanya akan menjadi sebuah bunuh diri politik yang tak berarti apa pun. Dia akan langsung diproses hukum, mungkin juga dipenjara.
Dalam perhitungan terburuk, pemenjaraan Rizieq pada momen yang jauh dari perhelatan Pilpres 2019 tentu akan merugikan dirinya dan terutama kelompok oposisi.
Rizieq yang berada di bui terlalu dini akan menyulitkan oposisi memelihara sentimen politik massa yang tak puas dengan Jokowi. Isu Rizieq ini rentan memuai ditimpa isu-isu lain yang datang silih berganti.
Dan jika politik adalah soal kalkulasi dan momentum, maka perhelatan Pilpres 2019 merupakan momen paling tepat bagi Rizieq untuk kembali ke Indonesia.
Di saat itu, kepulangan Rizieq akan memicu kekalutan politik bagi pemerintah yang berkuasa.
Drama itu, yang telah berlangsung beberapa hari sebelumnya, mendapat sorotan luas media massa.
Banyak pendukungnya menghadiri acara subuh berjamaah dalam rangka penyambutan Rizieq di Masjid Jami Baitul Amal, Cengkareng, Jakarta Barat. Polisi pun dibuat sedikit kalang kabut. Aparat dengan jumlah yang tidak sedikit dipersiapkan di sejumlah titik terutama di Bandara Soekarno Hatta.
Gembar-gembor kepulangan Rizieq berakhir antiklimaks. Namun pendukungnya tak sedikit pun merasa kecewa. Mereka hanya harus menunda lagi kerinduannya bertemu Rizieq.
Di bagian lain, sebagian orang yang tak menyukai Rizieq ikut merasa lega, tentu dengan alasan yang berbeda dengan para pendukung Rizieq.
"(Ada dia) Cuma bikin masalah. Demo lagi, razia lagi, hoax lagi," kata teman saya pendukung Jokowi yang tidak menyukai Rizieq, yang belakangan gemar membaca dan menyebarkan status 'selebriti medsos' macam Denny Siregar.
Rizieq memang sosok kontroversial. Sulit bagi orang untuk bersikap netral ketika berhadapan dengan dirinya. Biasanya, hanya ada dua pilihan: membenci atau mendukung Rizieq.
Rizieq punya ciri khas tersendiri.
Suaranya yang lantang saat berorasi, sikap tegasnya, dan kritik-kritiknya--seburuk apapun kualitas kritiknya terhadap pemerintah, seolah oase bagi sebagian masyarakat yang memang sejak lama merasa tak puas dengan Jokowi.
Rizieq, dengan kata lain, telah menjadi kanal bagi sebagian masyarakat untuk menyalurkan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah, di tengah mandulnya manuver politik dari partai-partai oposisi.
Dengan segala atribut dan peran di atas, Rizieq tak ayal lagi telah menjelma jadi salah satu tokoh oposisi nonpartai yang diperhitungkan.
Berbagai cara dan celah untuk 'membungkam' Rizieq. Mulai dari kasus ujaran kebencian, penghinaan terhadap lambang negara, hingga dugaan percakapan mesum dengan Firza Husein.
Pemerintah, dalam hal ini kepolisian, memang berhasil membungkam Rizieq. Setidaknya sukses memaksa sang imam hengkang ke Arab Saudi. Sayangnya, keberhasilan itu bersifat sementara, rawan dipolitisir, bahkan bisa berujung 'petaka politik' bagi keberlanjutan pemerintahan Jokowi di Pemilu Presiden 2019.
Simbol Pemersatu
Pemerintah tampaknya abai bahwa secara politis, Rizieq telah menjadi simbol pemersatu kelompok oposisi, baik di kalangan elite maupun akar rumput.
Di level elite Rizieq berhasil menguatkan ikatan kelompok alumni 212 dengan partai-partai oposisi. Sementara di akar rumput, rakyat yang tidak puas dengan Jokowi terus menunggu kepulangannya agar dapat memiliki kembali tokoh oposisi yang garang.
Dalam situasi demikian, tak heran jika isu kepulangan Rizieq yang sudah bergulir kesekian kalinya, kerap mendapat sorotan luas.
Isu kepulangan Rizieq pelan tapi pasti, telah menjadi komoditas politik. Salah satunya adalah untuk merapatkan lagi barisan oposisi di tingkat elite dan akar rumput. Dengan demikian, isu ini bisa digulirkan kapanpun sesuai dengan situasi politik yang sedang terjadi.
Namun, kepulangan Rizieq dalam waktu dekat hanya akan menjadi sebuah bunuh diri politik yang tak berarti apa pun. Dia akan langsung diproses hukum, mungkin juga dipenjara.
Dalam perhitungan terburuk, pemenjaraan Rizieq pada momen yang jauh dari perhelatan Pilpres 2019 tentu akan merugikan dirinya dan terutama kelompok oposisi.
Rizieq yang berada di bui terlalu dini akan menyulitkan oposisi memelihara sentimen politik massa yang tak puas dengan Jokowi. Isu Rizieq ini rentan memuai ditimpa isu-isu lain yang datang silih berganti.
Dan jika politik adalah soal kalkulasi dan momentum, maka perhelatan Pilpres 2019 merupakan momen paling tepat bagi Rizieq untuk kembali ke Indonesia.
Di saat itu, kepulangan Rizieq akan memicu kekalutan politik bagi pemerintah yang berkuasa.